Sabtu, 09 Juli 2011

Jendral Hoegeng simbol Keteladanan dan Kejujuran POLRI




















“Di Negeri ini hanya ada tiga Polisi yang tidak bisa di suap yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”

Kata-kata di atas adalah anekdot yang diucapkan oleh Gus Dur mantan Presiden Indonesia, anekdot yang mewakili persepsi dari sebagian besar masyarakat terhadap citra kepolisian. Di tengah citra negatif yang seringkali ditujukan kepada polisi, nama (Alm) Hoegeng menjadi legenda di masyarakat. Mantan Kepala Polri di era tahun 1968 – 1971 ini dikenang sebagai sosok polisi yang “keterlaluan” jujurnya, sederhana dan berdedikasi tinggi. Bukan hanya untuk kalangan Kepolisian saja, tetapi masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah perjalanan hidup Jenderal Hoegeng.

Hoegeng lahir tanggal 14 Oktober 1921 di Pekalongan dengan nama Imam Santoso, ketika kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng dan akhirnya menjadi hugeng. Ketika dewasa, bahkan sampai tua ia tetap kurus. Sejak kecil Hoegeng bercita-cita menjadi polisi karena melihat sosok kawan karib ayahnya yaitu Pa Ating yang merupakan Kepala Polisi di Pekalongan yang menurutnya gagah, suka menolong orang dan banyak teman. Tahun 1952 Hoegeng lulus dari PTIK dan ditempatkan di Jawa Timur, lalu tugas keduanya adalah menjadi kepala Reskrim di Sumut. Di Sumut kejujurannya mulai di uji, daerah ini saat itu terkenal dengan penyelundupan dan perjudian, ketika Hoegeng tiba ia “disambut” oleh para cukong perjudian dengan mobil dan rumah pribadi, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sampai ia mendapatkan rumah dinas. Tidak sampai di situ usaha dari para cukong untuk menyuap Hoegeng, ketika rumah dinas telah di berikan ternyata rumah tersebut telah terisi perabotan pemberian para tukang suap tersebut. Maka gemparlah kota Medan, karena dengan “teganya” Hoegeng mengeluarkan perabotan tersebut dan membiarkannya begitu saja di pinggir jalan.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Sumut, Hoegeng ditarik ke Jakarta untuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Ada kisah menarik ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.
“Apa hubungan dengan toko kembang?” tanya isterinya.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya. Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.

Selepas menjadi Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara. Ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan. Tahun 1966 ia kembali ke Kepolisian sebagai Deputi Operasi dan tahun 1968 menjadi Panglima Angkatan Kepolisian. Saat itu Hoegeng memprakarsai pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa intruksi itu memang bermanfaat. Suatu cerita yang sering dikisahkan orang adalah soal kebiasaan Hoegeng—saat menjabat Kapolri–ikut-ikutan mengatur lalu lintas ketika laju kendaraan di jalanan agak tersendat. Tak terbayang betapa salah tingkahnya para anak buahnya ketika Pak Hoegeng beraksi. Salah satu anaknya, Reni mengaku sempat kerap terlambat ke sekolah karena ”kebiasaan buruk” ayahnya yang tiba-tiba turun di tengah jalan untuk mengatur lalu lintas.

Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.

Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya. “Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Merry Roelani istri Soegeng. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.

Barangkali sikap Hoegeng dilatarbelakangi oleh pendiriannya yang ditanamkan sang ayah dari sejak kecil, “yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan, jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan.”. Ayahnya adalah seorang birokrat yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi. Agaknya baik untuk merenungkan pendapat Hoegeng, “Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala.”

Tanggal 14 Juli 2004 dinihari, Jenderal Hoegeng menghembuskan nafasnya yang terakhir, banyak tokoh menyatakan bahwa orang jujur di negeri ini semakin habis. Saya pribadi meyakini, bahwa masih ada tokoh-tokoh seperti Hoegeng di negeri ini, baik itu Polisi maupun lainnya. Seperti kata-kata Esa Hilang Dua Terbilang, semoga muncul Hoegeng-Hoegeng baru yang bisa lebih baik, muncul lebih banyak lagi orang-orang jujur yang menjaga kehormatan mereka dan tidak mencemarinya dengan perbuatan yang buruk walaupun memiliki jabatan yang tinggi dan mempunyai kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar