Sabtu, 09 Juli 2011

Mengingat Tan Malaka

Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu bertumpah”
(Tan Malaka)

Jakarta, awal Juni 1945, seorang pria paruh baya datang menemui Sukarni, ia memperkenalkan diri sebagai Ilyas Husein. Pria tersebut datang untuk menghadiri kongres pemuda di Jakarta, sebagai utusan dari Banten. Husein memaparkan analisisnya tentang kemerdekaan dan situasi politik saat itu, Sukarni terpukau dengan ulasan yang di sampaikan Husein, dan semakin memantapkan pendiriannya bahwa : proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan secepatnya. Pada saat rapat, analisis Husein mempengaruhi fikiran Sukarni, menurut Adam Malik, “Sukarni mendesak proklamasi untuk tidak ditunda”. Setelah itu, Sukarni –tanpa sepengetahuan Husein- menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak agar proklamasi dilaksanakan secepatnya.

Kisah tersebut di ceritakan oleh Sukarni dalam sambutannya pada acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Bandung, Februari 1957. Husein tak lain adalah Tan Malaka, tokoh revolusioner “bawah tanah” Indonesia yang pemikiran dan gagasannya telah banyak di kenal oleh tokoh-tokoh revolusioner lainnya, buku Tan berjudul Massa Actie merupakan bacaan yang menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Sayuti Melik mengenang bagaimana bung Karno dan Ir. Anwari membawa dan mengutip hal-hal penting dari Massa Actie, bahkan tuduhan yang memberatkan saat bung Karno di adili di landrat Bandung tahun 1931 juga lantaran menyimpan buku tersebut. Dalam pledoinya yang berjudul Indonesia Menggugat, bung Karno banyak mengutip tulisan dalam buku tersebut.

Separuh dari hidup Tan Malaka dilewatkannya di luar negeri, enam tahun belajar di negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politiknya, Tan yang memiliki 23 nama samaran, dari tahun 1922-1942 menyelundup dan berpindah-pindah ke banyak Negara dimulai dari Amsterdam dan Rotterdam, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hongkong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum kemudian dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang dan kembali ke Indonesia. Tan menjelajahi dua benua dengan total jarak 89 ribu Kilometer –dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin- dengan dibayang-bayangi oleh polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris atau Amerika yang beberapa kali menangkap dan memenjarakannya.

Sepanjang hidupnya, Tan telah melalui berbagai royan : dari masa akhir perang dunia I, revolusi bolsyewik, hingga perang dunia II. Tan merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia, pada tahun 1925 ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), lebih dahulu dari Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) tahun 1928, atau bung Karno yang menulis Menuju Indonesia merdeka tahun 1933. Naar de Republiek Indonesia ditulisnya di Kanton, saat pejuang lain baru berfikir tentang persatuan, atau paling jauh tentang Indonesia merdeka, Tan sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia.

Tan kembali masuk ke Indonesia dan mampir di Padang lalu melanjutkan perjalanan ke lampung, selanjutnya ke Jakarta. Setelah itu, Tan menyamar sebagai kerani di Bayah, Banten, dengan nama samaran Ilyas Husein. Pada saat pertemuan Tan Malaka dengan Sukarni itu, sebenarnya Sukarni sudah curiga bahwa tamunya ini bukanlah orang biasa, menurut Sukarni pemikiran Husein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajarinya, tapi ia tak berani bertanya, menurut Anwar Bey, “ia takut kalau Husein mata-mata jepang”.

Adam Malik menyebut peristiwa tersebut sebagai “kepedihan riwayat”, menurutnya Sukarni telah bertahun-tahun membaca buku politik Tan, tapi pada saat ia membutuhkan fikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni enggan bertanya siapa Husein sesungguhnya.
Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, Tan tidak mengetahuinya, ia mengetahui bahwa proklamasi telah dibacakan setelah mendengar orang ramai membicarakannya di jalan-jalan. Tan tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya, “Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia”.

Tiga pekan setelah proklamasi, Sayuti Melik diminta Sukarno mencari Tan Malaka, Sukarno mendengar tokoh pergerakan itu ada di Jakarta. Pertemuan dilakukan malam Lebaran, 9 september 1945 di rumah Suharto dokter pribadi Sukarno. Kepada Suharto, Sukarno merahasiakan siapa tamunya yang akan datang itu dan saat tiba Tan Malaka memperkenalkan diri sebagai Abdulradjak kepada Suharto. Suharto mengajak Abdulradjak ke kamar belakang, semua lampu rumah dimatikan dan terjadilah percakapan antara kedua tokoh tersebut dengan disaksikan oleh Sayuti Melik, sedangkan Suharto disuruh menunggu di luar.
Sukarno bertanya mengenai buku Massa Actie, kemudian keduanya terlibat dalam pembicaraan mengenai nasib Revolusi Indonesia. Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, Tan lebih banyak mendominasi pembicaraan, sementara Sukarno lebih banyak diam. Menurut Sayuti kata-kata Tan tentang revolusi belakangan sering dikutip oleh Sukarno.

Lalu beberapa hari kemudian Tan dan Sukarno kembali bertemu, dan di ujung pertemuan ini Sukarno mengatakan akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan. Dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menganggap usul itu hanya sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan, “saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan”.
Sukarno pernah menulis testamen politik yang berisi wasiat penyerahan kekuasaan kepada empat nama –salah satunya Tan malaka- apabila bung Karno dan bung Hatta mati atau ditangkap, “jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seseorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka” kata bung Karno. Awalnya bung Karno hanya mengusulkan nama Tan Malaka saja, tapi usulan itu ditentang oleh bung Hatta karena Tan Malaka hanya mewakili golongan “kiri” saja.
Sejarah mencatat bahwa Tan Malaka adalah seorang bolsyewik, dia membaca buku Karl Marx dan berguru kepada dedengkot komunis di Rusia, menurut bung Hatta pula bahwa keberadaan Tan Malaka bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya.

Tan yang pernah memimpin Partai Komunis sebelum dibuang ke Belanda oleh pemerintah kolonial, memang bersilang pendapat dengan anggota partai itu terutama soal sikapnya yang menginginkan persatuan antara komunis dan pan-islam yang juga diutarakannya pada kongres Komunis Internasional di Moskow. Ketika Musso tahun 1948 pulang ke Indonesia, dia berkata bahwa hal pertama yang akan dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka.
Pada Kongres partai Murba –partai yang didirikan Tan-, para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Sukarno-Hatta dan perdana menteri Sjahrir. Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen adalah tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi mungkin. Tan berpendapat : orang tidak akan berunding dengan maling di rumahnya sendiri. Jendral Sudirman dengan tidak kalah garang mengatakan, “lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen”. Baik Tan Malaka maupun Sudirman berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus seratus persen, dan perundingan membuat kemerdekaan menjadi kurang dari seratus persen.
Jalan oposisi Tan berbuah penjara, Tan Akhirnya dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Sudirman tidak tinggal diam, ia memerintahkan Mayjen Sudarsono untuk menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan semua tawanan.

Ketika Agresi Militer Belanda II tahun 1948, Tan dan Sudirman kembali ke jalan gerilya. Tan bergerilya berdasarkan buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) yang ia tulis sendiri, menurut Jendral A.H Nasution pemikiran Tan dalam buku ini menyuburkan perang rakyat semesta yang sukses menghadapi dua kali agresi militer Belanda, Nasution juga mengatakan terlepas dari pandangan politiknya, Tan harus dicatat sebagai tokoh militer Indonesia. Pada Agresi Militer Belanda II tersebut, Tan banyak membuat pamflet yang dia beri nama “Dari Markas Murba Terpendam” yang isinya menyerukan rakyat untuk terus bergerilya seperti Sudirman.
Tapi, pergerakan Tan ini dianggap membahayakan perjuangan Republik Indonesia, menurut Poeze Tan Malaka ditembak mati oleh anggota TNI di Kediri suatu hari di tahun 1949. Tan Malaka yang berjuang selama berpuluh-puluh tahun untuk mewujudkan gagasannya tentang Republik Indonesia akhirnya harus mati di ujung senapan tentara republik yang ia cita-citakan.

Di tengah gonjang-ganjing usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional yang terjadi belakangan ini, ada baiknya kita mengingat kembali Tan Malaka –juga Pahlawan Nasional lainnya-. Tan Malaka merupakan Pahlawan Nasional menurut Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1963, tapi namanya coba “dihapuskan” dari sejarah, selama Orde Baru namanya tidak pernah dicantumkan dalam pelajaran sejarah di sekolah, banyak yang tidak mengenal Tan Malaka.

Memang Tan Malaka adalah seorang Marxis -termasuk golongan “kiri”-, musuh besar Orde Baru, tapi dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, dia berjuang untuk kemerdekaan Tanah Airnya. Tan Malaka adalah seorang marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis tuntas dalam semua tindakannya.
Apa artinya gelar Pahlawan Nasional jika sang tokoh dilupakan -atau coba dilupakan-?, terlepas dari pandangan politiknya yang mungkin banyak ditentang oleh masyarakat Indonesia saat ini, mari kita kembali mengingat Tan Malaka, mengingat semangat dalam gagasan kenegaraan seorang Tan Malaka. Seorang tokoh perjuangan yang mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan Republik Indonesia, lalu “dihujat dan dilupakan” oleh bangsanya sendiri.

1 komentar:

  1. Casino-Bricket Hotel & Casino
    The hotel 동두천 출장샵 boasts a pool, 당진 출장마사지 a bar and fitness 오산 출장샵 center, and a bowling alley. The casino has a casino, poker room and a spa. Hotel 동두천 출장샵 guests are given 진주 출장샵 complimentary Wi-Fi.

    BalasHapus