Sabtu, 09 Juli 2011

Sepenggal Cerita Tentang Seorang Loyalis

Bagi masyarakat Indonesia yang pernah merasakan hidup pada masa orde baru sampai awal lahirnya masa orde reformasi, mungkin tidak asing dengan nama Benny Moerdani. Nama ini sering dikaitkan dengan rentetan peristiwa “ pelanggaran HAM ” yang pernah terjadi di masa orde baru, sebuah masa dimana bagi sebagian rakyat Indonesia merupakan masa suram dan gelap bagi kebebasan berpendapat. Hampir semua lini pemerintahan saat itu dipegang oleh militer, ABRI menjadi kekuatan yang besar dan juga dipasang sebagai jawaban bagi hampir semua permasalahan yang terjadi di Negara ini. Segala pergerakan dan opini yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah langsung di bungkam menggunakan cara-cara militer dengan alasan mengancam stabilitas Negara, seringkali tindakan penanggulangan tersebut dilakukan dengan kekerasan yang bagi masyarakat sipil tentu tidak bisa diterima sehingga muncul opini di masyarakat bahwa semua ini adalah rekayasa untuk kepentingan pribadi penguasa. 

Peristiwa Tanjung Priok dan petrus (penembakan misterius) adalah contoh peristiwa yang dimaksud, semua rentetan peristiwa ini tidak bisa untuk tidak dikaitkan oleh masyarakat terhadap sosok Benny Moerdani, seorang Jendral yang dianggap dalang dari semua rekayasa ini. Majalah Umat edisi 5 April 1999 menuliskan, ”BennyMoerdani tidak pernah mati. Dan begitulah agaknya sampai beberapa dasawarsa nanti. Setelah pensiun dari segala macam jabatan pemerintahan sejak enam tahun silam, dalam beberapa bulan terakhir namanya justru semakin bertambah santer di pergunjingkan…”. Terlepas ada atau tidak, pergunjingan terhadap semua peran Benny, selalu disebutkan dalam nada seram, karena Benny dianggap berada dibalik seluruh rangkaian segala macam kerusuhan.

Benny Moerdani adalah seorang perwira tinggi Angkatan Darat yang telah banyak mengikuti berbagai operasi militer, pengalaman dan kemampuannya tidak diragukan lagi. Lahir pada tanggal 2 Oktober 1932 di cepu, Benny kecil seringkali terlibat dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Berawal dari dikepungnya markas kenpetai Solo, Benny yang kala itu berumur 13 tahun ikut dalam kerumunan sambil membawa senjata Arisaka, senapan milik tentara Jepang yang ia pungut di tengah jalan. Sesuatu yang tidak aneh, karena di masa itu banyak senjata berserakan. Benny, sebagai remaja, tanpa maunya telah ikut dalam pertempuran. Mungkin awalnya hanya sifat keingintahuan seorang anak remaja, tapi selanjutnya benny semakin mantap untuk ikut mempertahankan Negara dari para penjajah. Dari tahun 1945 sampai 1949 Benny menghabiskan banyak waktunya dalam pertempuran melawan penjajah yang mencoba untuk merebut kembali Indonesia, Benny bergabung dengan tentara pelajar kala itu.
 
Tahun 1949, Belanda dan sekutunya pergi dari Indonesia, perang kemerdekaan telah berakhir tetapi muncul dilema pada diri para tentara pelajar. Mereka yang selama beberapa bulan terakhir meninggalkan sekolah dan secara sukarela ikut berjuang, harus kembali masuk ke sekolah. Pengalaman bertempur yang menurut mereka mengasyikan sudah berakhir, Sri Budjojo, salah seorang tentara pelajar melukiskan, “ mereka mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada realitas memilih, kembali ke sekolah atau terus menjadi tentara. Dalam masa transisi, banyak diantara mereka malah meneruskan pola hidup petualangan.”. Tampaknya memang sulit menertibkan remaja yang baru saja merasakan ikut memenangkan perang, banyak ekses yang muncul. Hal ini terlihat dari banyaknya laporan mengenai tindak negatif berupa penyerobotan, memaksa minta ijasah dan aksi kejahatan bersenjata. Sesudah menyadari banyaknya ekses yang timbul, pemerintah mengimbau kepada para eks tentara pelajar untuk tetap menjadi tentara, dan diwajibkan mengikuti test pendidikan calon perwira. Dengan bekal surat keterangan pernah duduk di kelas 2 SMA, Benny berangkat ke Bandung untuk mengikuti pendidikan perwira di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD).
P3AD merupakan awal karir militer Benny, tanggal 28 Mei 1952 Benny dilantik menjadi perwira militer cadangan dengan pangkat pembantu letnan cadangan, dan dua tahun kemudian Benny dilantik menjadi Letnan II Infanteri. Ketika awal terbentuknya KKAD (sekarang Kopassus), pimpinan Angkatan Darat mempersiapkan kader pelatih inti untuk membantu Idjon Djanbi. Benny yang ketika itu sedang berada di Bandung langsung mendaftarkan diri, Benny pun diterima dan mengikuti pendidikan komando yang seluruh latihannya sengaja diberikan dalam porsi maksimum karena Idjon Djanbi berusaha mengubah para siswa, dari semangat prajurit infanteri menjadi pasukan komando. Setelah lulus menjadi Komando, Benny banyak mendapatkan penugasan di medan tempur, sebagai prajurit komando benny seringkali bertempur di garis depan. Pertempuran untuk menumpas PRRI, Permesta, DI/TII, sampai konfrontasi untuk menggagalkan rencana pembentukan Malaysia di ikutinya. Nama Benny moerdani melambung ketika dirinya yang kala itu berpangkat kapten, memimpin Operasi Naga untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Karena keberhasilannya dalam operasi ini, Benny mendapatkan penghargaan Bintang Sakti, sebuah penghargaan yang tidak semua anggota militer memilikinya.

Baret merah, sebutan untuk pasukan khusus Angkatan Darat merupakan tempat Benny banyak merintis karirnya, Benny ikut membesarkan baret merah dari sejak satu kompi sampai menjadi satu resimen, segala kerja keras telah ia sumbangkan untuk RPKAD, Benny sangat bangga menjadi bagian dari prajurit komando, tapi perintah dari Jendral Ahmad Yani untuk mengeluarkan Benny dari RPKAD membuatnya terpaksa harus pergi dari kesatuan yang telah juga ikut membesarkannya. Ahmad Yani yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat marah kepada Benny setelah mendapat laporan bahwa Benny coba untuk menentang keputusan Komandan, dan Benny akhirnya dipindahkan ke KOSTRAD. Benny mengaku, ikatannya dengan baret merah saat itu mungkin emosional, yang pasti akan berlalu bersama perjalanan waktu. Tetapi, alasan pencopotannya dari RPKAD hanya karena fitnah, itu tetap membuatnya sakit hati.

Hal ini masih membekas sampai 15 tahun selanjutnya, sebagai Panglima ABRI Benny mengikuti upacara pelantikan Yang Dipertuan Agung Malaysia sebagai warga kehormatan Kopassus. Brigjen Sintong Panjaitan sebagai Komandan Kopassus menyerahkan baret merah untuk dikenakan Benny saat upacara. Sintong menjelaskan kejadian saat itu, ” Pak Benny langsung mencampakan. Dengan suara keras dia menolak memakai baret merah. Terus terang saya tersinggung. Saya tegaskan, baret merah kebanggaan korps, bukan kebanggan pribadi. Kami berdebat lama, kemudian saya tandaskan, bukan sekedar baretnya kita hormati, tapi kebanggan korps harus kita hargai. Kemudian dia mengambil kembali baret tersebut, dipakainya sambil berkata, saya tak ingin kalian kecewa.” Itulah pertama kalinya, Benny mengenakan kembali baret merah.
 
Sebagai perwira militer yang diperbantukan di KOSTRAD, ketrampilan khusus Benny akhirnya jadi kurang menonjol, sosoknya tertutupi oleh perwira lain yang telah lama ditempatkan di sana. Dia tidak bisa lagi menunjukan kemampuan merancang dan memimpin operasi militer yang seakan-akan menjadi ciri khas dirinya. Dading Kalbuadi melukiskannya dalam kalimat, “Benny hanya luntang – lantung di KOSTRAD..”. Benny terlepas dari keadaan seperti ini setelah tanpa sengaja bertemu Ali Moertopo, Ali yang telah lama mengenal Benny dan melihat potensi yang terdapat pada diri Benny membantunya untuk mendapatkan tugas baru sebagai intelijen. Selama 2 tahun Benny membangun jaringan intelijen di luar negeri, dan karena jaringan yang telah dia bangun Benny di tempatkan sebagai diplomat di Kuala Lumpur. Sampai ketika tahun 1974, ketika terjadi kerusuhan malari di Jakarta Benny diminta untuk kembali ke Indonesia. Presiden Soeharto memberikannya jabatan intelijen di Indonesia, dia bertugas untuk menata jaringan intelijen di dalam negeri. Benny merangkap jabatan Asisten Intelijen Hankam, Asisten Intelijen Kopkamtib dan juga Wakil Kepala Bakin. Sebagai Asintel Kopkamtib, dia nyaris hadir dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan. 
Selain itu, Benny juga menduduki jabatan Kapus Intelstrat Hankam, posisi tersebut sangat strategis. Kapus Intelstrat dalam masa krisis secara operasional membawahi baret merah yang saat itu bernama Kopasandha dan telah bertambah kekuatannya dari satu resimen menjadi 5.000 orang, serta berkembang menjadi 4 grup terdiri dari 2 grup para-komando dan 2 grup intel sandhi yudha. Sewaktu Benny masih dalam kesatuan komando, posisi paling tinggi yang dia jabat adalah Komandan Batalyon. Justru setelah dirinya bukan lagi di pasukan baret merah, Benny malah punya kewenangan untuk menggerakan empat grup pasukan khusus.

Sesudah berhasil menata beragam organisasi intelijen, kedudukannya makin bertambah kokoh. Benny lambat laun tampil sebagai muara dari segala macam laporan, analisa, kajian, dan informasi yang bersumber dari semua jaringan intelijen di Indonesia. Benny kemudian memperoleh kepercayaan memegang dua jabatan sangat strategis, sebagai seorang Panglima ABRI dan juga Panglima Kopkamtib. Masyarakat selalu menyebutnya sebagai orang nomor dua terkuat di Indonesia. Dalam perjalanan karirnya, peristiwa tanjung priok merupakan kejadian yang selalu menghantuinya sampai saat dia meninggal. Kejadian yang memiliki indikasi SARA ini menuduh Benny sebagai dalang dari penembakan terhadap umat muslim di Tanjung Priok, Benny yang merupakan umat Katolik dianggap melakukan operasi ini untuk menghancurkan umat islam. Apakah benar??entahlah, yang pasti sampai hari ini Benny tidak terbukti bersalah.

Gus Dur menggambarkan Benny sebagai “Patriot 24 karat”, semua yang dia lakukan adalah berdasarkan kesetiaannya pada Negara, Goenawan Mohamad memandang Benny sebagai samurai sejati dengan sumpah kesetiaan yang bila perlu meniadakan diri sendiri. Dalam benak Benny, mungkin hanya sedikit sekali tersedia ruang abu-abu, karena yang ada pada dirinya hanya hitam atau putih. Dengan sikap semacam itu, maka sosoknya lantas tampil beda dengan yang ada di sekitarnya. Dalam pandangan lain, justru hanya Benny yang kemudian masih bersikap sigap, berikut keberanian mempertanggungjawabkan semua keputusannya. Sebab pada kenyataannya, langkah yang selalu dia ambil sama sekali bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi bangsa dan tanah airnya, Indonesia.
 
Menjelang Sidang Umum MPR 1988, Presiden Soeharto mencopot Benny. Hal tersebut menjadi persoalan yang selalu diperbincangkan, karena semua orang tahu Soeharto tidak pernah mengganti pembantunya betapapun jelek penampilannya, sebelum masa tugasnya selesai. Masyarakat menganggap terdapat perselisihan pribadi antar keduanya. Setelah 10 tahun Soeharto mencopot Benny, Soeharto turun dari jabatan Presiden yang telah ia duduki selama 32 tahun, ia turun atas desakan massa yang turun ke jalan menuntut reformasi di pemerintahan. Di awal orde reformasi, Benny pernah berbicara kepada salah seorang sahabatnya Harry Tjan Silalahi “ Krisis moneter berlangsung berkepanjangan, Timor-timur lepas, suasana keamanan di tanah air semakin memprihatinkan sekaligus semrawut…ini semua salib pribadi yang harus saya pikul. Semua yang kita bangun sudah mulai rontok, rasa aman di negeri ini memang begitu mahal.”. Akhir Agustus 2004, setelah berjuang melawan penyakit stroke Benny moerdani yang memiliki nama lengkap Leonardus Benjamin Moerdani, menghembuskan nafasnya yang terakhir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar